Perubahan kepemimpinan nasional di tahun 2024 selayaknya menjadi momentum kebangkitan upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.
Mewujudkan hal ini, saatnya Presiden Prabowo Subianto bersama segenap jajaran anggota kabinet pemerintahannya kembali menegaskan komitmen dan tindakan dalam memerangi korupsi yang kini sudah terbilang kritis kondisinya.
Betapa kritisnya kondisi korupsi dapat tergambarkan pada beragam ukuran pemantauan kondisi korupsi pada setiap elemen negeri ini.
Tidak ada satu pun indikator korupsi yang mengungkapkan kabar menggembirakan. Sebaliknya yang terjadi justru potret buram penurunan kualitas pemberantasan dan praktik korupsi di berbagai bidang persoalan.
Problem melemahnya upaya pemberantasan korupsi tampak pada pencermatan dalam 10 tahun terakhir.
Hasil survei Litbang Kompas mengungkapkan, persoalan penanganan korupsi di negeri ini menjadi persoalan yang paling problematik dibandingkan dengan persoalan penegakan hukum lainnya.
Sepanjang kurun waktu pencermatan, kinerja pemerintah dalam pemberantasan korupsi di mata publik tidak makin membaik.
Apabila pada Januari 2015 masih 64,3 persen publik memberikan apresiasi kepuasan terhadap upaya pemerintah, selepas itu konsisten menurun.
Pada Oktober 2022, mencapai titik terendah, hanya diapresiasi oleh 42,9 persen publik. Terakhir, pada Juni 2024, apresiasi kepuasan tercatat sebesar 53,7 persen.
Tiga indikator.
Gambaran makin problematiknya upaya pemberantasan korupsi semakin dipertegas lagi oleh catatan tiga indikator pemberantasan korupsi yang biasa digunakan selama ini.
Ketiganya adalah Survei Penilaian Integritas (SPI), Indeks Perilaku Anti-korupsi (IPAK), dan Indeks Persepsi Korupsi (IPK).
Ketiga indikator yang masing-masing dibangun oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pusat Statistik (BPS), dan Transparansi Internasional (TI) ini dilakukan secara berkala dan hasilnya sama-sama menunjukkan tren penurunan kondisi pemberantasan, tindak pidana korupsi, hingga perubahan perilaku masyarakat dalam menanggapi korupsi di negeri ini.
Berkaca pada Survei Penilaian Integritas yang dibangun KPK, sepanjang tiga tahun terakhir konsisten terjadi penurunan tingkat integritas pada 629 instansi kementerian/lembaga/pemerintah daerah di negeri ini.
Tahun 2023, skor nasional SPI sebesar 70,97. Skala survei mulai dari 1 hingga 100, yang menunjukkan level integritas instansi. Semakin tinggi angka skala yang dihasilkan, semakin baik tingkat antikorupsinya.
Capaian skor SPI 2023 lebih rendah ketimbang dua tahun sebelumnya. Pada 2022, skor mencapai 71,94. Menjadi semakin menurun dibandingkan tahun 2021 tatkala skor SPI mencapai 72,43.
Artinya, dari tahun ke tahun penurunan kualitas integritas yang tecermin dalam persepsi, pengalaman, perubahan perilaku dalam menanggapi korupsi di negeri ini terjadi.
Penurunan skor SPI tiga tahun terakhir penting dicermati. Pasalnya, survei yang terbilang paling komprehensif ini menguak semua sisi korupsi, baik dari pandangan dan pengalaman internal birokrasi, pengguna layanan atau mitra kerja sama, maupun para ahli dari berbagai kalangan.
Jumlah informan yang digunakan pun tidak tanggung-tanggung besarnya, mencapai ratusan ribu sampel, yang dapat menggambarkan kondisi di setiap instansi pemerintahan dan negara di seluruh negeri ini.
Gratifikasi.
Praktik korupsi umum terjadi dalam indikator gratifikasi. Hasil SPI menunjukkan pengakuan sekitar 25,9 persen pegawai atau birokrat pemerintahan yang punya pengalaman melihat atau mendengar pegawai menerima pemberian (dalam bentuk uang/barang/fasilitas).
Penerimaan gratifikasi semacam ini juga diakui oleh sekitar 23,9 persen kalangan eksternal berupa pengguna layanan atau mitra kerja sama.
Selain pemberian gratifikasi, berbagai tindak korupsi, seperti kasus-kasus yang berurusan dengan penyediaan barang dan jasa, juga banyak ditemukan.
Pada umumnya, praktik KKN, seperti penentuan pemenang pengadaan yang didasarkan pada hubungan kedekatan, ketidaktransparanan pelaksanaan, dan penyalahgunaan anggaran dalam penyediaan barang dan jasa, signifikan jumlahnya.
Keberadaan SPI menjadi semakin dilengkapi dengan kehadiran IPAK. Indeks ini secara khusus mengukur tingkat permisivitas masyarakat terhadap perilaku antikorupsi.
Dalam penjelasannya, BPS mengungkap beberapa indikator yang dirangkai, mencakup pendapat terhadap kebiasaan di masyarakat dan pengalaman berhubungan dengan layanan publik dalam hal penyuapan (bribery), gratifikasi (graft/gratuity), pemerasan (extortion), nepotisme (nepotism), dan sembilan nilai antikorupsi.
Dalam skala penilaian, indeks IPAK berkisar pada skala 0 sampai 5. Semakin mendekati 5 berarti menunjukkan kondisi yang semakin baik, yaitu masyarakat berperilaku semakin antikorupsi. Berdasarkan setiap indikator yang digunakan, pada 2024, nilai IPAK mencapai sebesar 3,85.
Dibandingkan dengan skor indeks tahun sebelumnya, terjadi penurunan. Tahun 2023 skor indeks mencapai 3,92. Setahun sebelumnya (2022) mencapai 3,93.
Artinya, kurun waktu tiga tahun terakhir, seperti juga SPI KPK, terjadi penurunan yang mencerminkan tren semakin rendahnya permisivitas masyarakat terhadap perilaku antikorupsi. Baik dari sisi persepsi maupun pengalaman keseharian masyarakat dalam berhubungan dengan layanan publik semakin rawan korupsinya.
Problem rawannya korupsi dalam indeks ini tergambarkan dalam tahapan persepsi. Di bidang pendidikan, misalnya, anggapan wajarnya praktik gratifikasi yang ditunjukkan oleh sikap orangtua, wali murid, atau mahasiswa memberikan uang, barang, atau fasilitas kepada pihak sekolah atau kampus pada saat penerimaan rapor, kenaikan kelas, sidang akhir, atau kelulusan masih tergambarkan pada 50,49 persen responden.
Dalam dimensi pengalaman, hasil IPAK juga mengungkapkan masih terdapat sebagian masyarakat maupun pelaku usaha yang mengeluarkan uang, barang, atau fasilitas yang melebihi ketentuan saat berurusan dengan layanan publik.
Tidak kurang dari 17,17 persen anggota masyarakat yang mengalami kasus semacam ini di tahun 2024. Proporsi tersebut, agak meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya (16,33 persen).
Begitu pula pada kalangan pengusaha, tercatat sebanyak 18,81 persen yang mengalaminya, juga meningkat dibandingkan tahun lalu. Semua persepsi dan pengalaman yang diutarakan menunjukkan problem korupsi yang masih mengakar dalam kehidupan masyarakat.
Indeks Persepsi Korupsi.
Jika kedua indeks, baik SPI dan IPAK terkonsentrasi pada persepsi dan pengalaman individu berurusan dengan beragam indikator pengukuran korupsi di negeri ini, maka kehadiran Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perceptions Index (CPI) yang diterbitkan setiap tahunnya oleh organisasi Transparency International sejak 1995, menjadi semakin melengkapi.
IPK merupakan pengukuran korupsi sektor publik sebuah negara yang digunakan dalam perbandingan secara internasional. IPK dibangun berdasarkan 13 survei global dan penilaian ahli serta para pelaku usaha terkemuka untuk mengukur korupsi di sektor publik di 180 negara.
Skor penilaian indeks ini didasarkan pada skala 0 sampai 100, di mana skor 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih.
Bersandar pada hasil IPK, selama sepuluh tahun terakhir tren penurunan tampak dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Pada 2015, Indonesia mendapatkan skor sebesar 36 poin dan berada di urutan ke 88 dari 180 negara yang diukur.
Pada tahun 2020, sempat didudukan pada posisi ke-96, dengan skor 38 poin. Namun, pada tahun 2023 lalu, skor Indonesia menjadi 34 poin. Dengan skor tersebut, Indonesia berada di posisi ke 117 dari 180 negara (Grafik 4).
Dengan skor tersebut, tidak hanya di mata warganya sendiri, namun dalam pandangan dunia internasional, Indonesia tampaknya masih jauh dari kata bebas dari korupsi.
Apalagi, penurunan kualitas yang terjadi secara konsisten beberapa tahun terakhir sebagaimana yang ditunjukkan oleh semua indeks korupsi yang terpaparkan di atas, semakin memperkuat jika kondisi darurat korupsi sepantasnya dilakukan. (LITBANG KOMPAS).
Oleh Bestian Nainggolan.